Manistebu.com | Stephen Addiss dalam buku Haiga, Takebe Sōchō and the Haiku-Painting Tradition (1995), menyatakan, “Haiga is the special word for a unique form of art. HAI comes from haiku, previously known in Japan as Haikai or hokku, three-line poems of 5-7-5 syllables; the word originally had the connotation of leisure or amusement. GA is the word for painting, so HAIGA means haiku-painting.” Sama halnya dengan Yosa Buson (1716-1783), lingkungan alam ditafsirkan oleh Buson melalui gaya lukisan haiku-haikunya. Hal ini menunjukkan kecintaannya kepada lukisan. Haiga adalah sebuah karya seni di mana lukisan digabung dengan haiku atau prosa haikai [haibun] (an art form where painting is combined with haiku or haikai prose).

Untuk buku haiga di luar negeri sangat banyak, seperti buku American Haiga karya John Budge yang diilustratori oleh PAN* Pantoja. Bahkan buku anak berjudul I Haiku You karya Besty E Snyder menggunakan ilustrasi.

Berbicara mengenai haiku, puisi pendek khas Jepang yang cukup dikenal di dunia, bahkan di Indonesia. Berbagai komunitas, perorangan, maupun kelompok menerbitkan antologi haiku. Untuk haiganya sendiri, ada beberapa penulis yang menggunakan foto atau kombinasi lukisan dan foto.

Buku antologi haiku berjudul Embara Embun Mimpi, kiranya cukup berbeda dibandingkan dengan buku-buku haiku yang sudah ada. Perbedaannya terletak pada haiga lukis tangan untuk setiap haikunya. Saya sendiri mencari sumber yang tepat, barangkali saja pendapat ini keliru, namun hingga saat ini belum didapat data mengenai haiga lukisan tangan secara utuh di Indonesia. Bukan bermaksud pamer, namun inilah bagian dari promosi menurut saya, karena buku Embara Embun Mimpi ini juga berisikan kosmologi yang berpijak pada lingkungan sendiri. Karya ini, saya tulis dengan I Gusti Made Dwi Guna, tentu melibatkan alam atau lingkungan di Bali. Sedangkan saya, selama menyelesaikan tulisan ini, dalam perjalanan Jakarta-Bengkulu maka dua lingkungan ini nampak dalam haiku-haiku yang saya tulis.

Rupanya, ditulis oleh dua orang yang berbeda budaya dan tempat ini, punya nilai lebih yang lain pula. Karena, cara pandang dan pemahaman dalam menuliskan/menuangkan haiku punya ciri masing-masing. Saya, dikatakan oleh Narudin dalam pengantarnya di buku itu, berperilaku “barbar” terhadap aturan haiku tradisional yang mengandalkan kigo, kireji, zen, dan pola suku kata 5-7-5. Pengantar dalam buku tersebut diberi judul “Pergeseran Makna Kausal Haiga Guna dan Ira” karena menyoroti dua hal sekaligus yaitu ikon (lukisan) dan indeks (haiku). Mengenai penjelasan panjang lebar tersebut, tentu Anda perlu mendapatkan dan membaca buku Embara Embun Mimpi secara tuntas.

Buku yang berisikan 101 haiku tersebut, ditulis dengan pembagian tugas, 50 haiku pertama ditulis Guna dan saya menulis 50 haiku berikutnya, sedangkan haiku pembuka melengkapi jumlah 101 itu, kami tulis bersama. Untuk lukisan, semua dikerjakan oleh Guna menggunakan tinta Cina. Tantangan bagi Guna, ketika ia harus melukis haiku yang saya tulis. Katanya, “Saya harus memaknai lagi apa yang mungkin Ira maksud dari haikunya, setidaknya menerka di mana penekanannya. Berbeda dengan karya sendiri yang harus diilustrasi.”

Setelah merampungkan buku ini, kami menghubungi beberapa rekan untuk membaca dan memberikan endorsement. Berikut beberapa endorse pada buku Embara Embun Mimpi.

“EMBARA EMBUN MIMPI karya Guna dan Ira. Sesungguhnya tidak hanya berbicara tentang kesederhanaan, kesunyian, dan ketenangan. Tapi lebih dari itu, 101 Haiga dan Haiku Guna dan Ira, mengandung pelajaran: Bagaimana mengolah pikiran dan mengendalikan perasaan.”

–Dr. Mukhlis PaEni, M.A, Budayawan dan Sejarawan.

“Jujur, ini buku yang ingin saya tulis juga …. Antalogi haiku dipadu padan dengan ilustrasi yang disebut haiga. Dwi Guna dan Ira berhasil menyajikan fenomena alam Nusantara secara apik dan sederhana dalam bingkai haiga. Buku yang baik untuk berbahagia dengan puisi tradisional Jepang ini.”

— Bambang Trim, Ketua Umum Perkumpulan Penulis Profesional Indonesia (Penpro) dan Direktur Institut Penulis Indonesia.

“Sebagai penulis yang tumbuh dalam tradisi sastra Melayu-Nusantara, dulu saya bersikap skeptis terhadap haiku, puisi khas Jepang yang, menurut saya, mengandung ‘split’ estetika. Ini berbeda dengan pantun dan syair, misalnya, dimana kata, irama (bunyi), dan makna begitu solid. Belakangan saya tahu haiku berusaha menyatukan yang terpecah itu. Haiku juga merefleksikan kosmologi orang Jepang; sebagaimana pantun/syair merefleksikan kosmologi bangsa Melayu. Maka tidak mudah bagi penyair Indonesia untuk menulis haiku. Namun Guna dan Ira menunjukkan sebaliknya. Mereka mampu mengatasi kedua problem di atas; estetikanya berdenyar menyentuh intuisi, dan kosmologinya berpijak di lingkungan sendiri.”

— Ahmad Gaus, Dosen sastra Swiss German University (SGU), penulis buku puisi Senja di Jakarta (2017) dan Kutunggu Kamu di Cisadane (2013).

日本人として、この南半球でインドネシアの方が俳句を詠み俳句に親しまれるのを誇りに思います。

定型の短い文章の中で、一瞬にして、読者を詠み手の目の前の世界へと誘ってくれる俳句。

著者達が紡ぎ出す言葉の「わび・さび」に感銘を受けました。

“Sebagai orang Jepang, saya bangga penulis Indonesia menikmati menulis Haiku di belahan bumi selatan ini. Dalam kondisi tertentu, dalam sekejap mata, saya diundang ke dunia penyair Haiku. Saya terkesan dengan perasaan Wabi-Sabi dalam kata-kata yang berhasil mereka jalin.”

—Megumi Nakao, pecinta buku.

Buku ini akan diluncurkan dan dibedah di PDS HB Jassin Taman Ismail Marzuki pada 20 Januari 2018 pukul 11.00 sampai dengan selesai. Anda dapat mendengarkan ulasan pembicara Narudin dan Yusuf Susilo Hartono yang akan membedah buku tersebut dari dua aspek yaitu indeks (haiku) dan ikon (lukisan).

Jika Anda tertarik dengan buku ini, pra-order dibuka periode 2 s.d. 20 Januari 2018. Harga normal Rp 58.000,- mendapatkan rabat hingga Rp 50.000,- (belum termasuk ongkos kirim). Salam buku. [Ira Diana]

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.